Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Raden Syahid Berguru Pada Sunan Bonang


Setelah Raden Syahid menerima biji pohon Gurda, sekejap Sunan Bonang telah hilang dari pandangannya.

Pohon Gurda merupakan sejenis tanaman padi seperti semak-semak yang dapat berbuah dalam waktu 9 bulan sampai 1 tahun. Kemudian Raden Syahid mencari tempat yang dianggapnya cocok dan menanamnya.

Ditungguilah biji pohon tersebut. Raden Syahid membuat sebuah gubuk kecil yang digunakan untuk mengawasi tumbuhnya biji pohon yang sudah ditanamnya. Sambil menunggu berbuah, Raden Syahid berdzikir dengan bacaan Ya Hayyu Ya Qoyyum berulang-ulang kali.

Hal itu dilakukan sebagai wujud taubatnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan semoga biji yang ditanamnya dapat berbuah dengan baik.

Raden Syahid Merawat Tanaman Gurda

Setelah menunggu selama 6 bulan, biji yang ditanamnya belum juga tumbuh. Apa sebabnya belum tumbuh, pikir Raden Syahid bingung. Setiap ada orang yang lewat ia menanyakan bagaimana cara yang benar agar biji pohon Gurda yang ditanamnya dapat tumbuh dan berbuah dengan baik. 

Untungnya ada orang yang mengetahui cara menanam pohon Gurda dan bersedia memberi keterangan yang jelas. Raden Syahid mempraktekannya dan alhasil tidak sampai seminggu biji pohon tersebut telah menyembul tumbuh di atas tanah.

Sungguh gembira tak terkira hati Raden Syahid. Seperti pepatah Jawa yang mengatakan wong nandur bakal ngunduh yang artinya orang menanam akan menuai hasil.


Beberapa minggu kemudian, kelopak daun sudah membuka, 2 daun mulai mengembang dan membesar. Bau harum pun datang dari daun itu. Sebulan kemudian, daun bertambah banyak dan lebih besar sehingga menambah harumnya aroma wewangian.

Dirawatnya tumbuhan itu dengan baik dan hati-hati. Tidak ada kesempatan bagi serangga yang mendekati pohon tersebut. Jika ada serangga yang mendekatinya, dengan cepat ia menyingkirkan 

Setiap pagi dan sore, ia selalu menyiraminya dan tak lupa memberi pupuk untuk menggemburkan tanahnya. Semua pengetahuan tentang bertanam, dipraktekkan nya dengan baik dan berhati-hati.

Waktu telah berjalan dengan cepat dan tidak terasa 1 tahun telah berlalu. Pohon gurda yang telah dinanti-nantikan nya, telah berbuah banyak sekali. Raden Syahid menyimpulkan, "Siapa yang menanam kebaikan akan berbuah kebaikan dan siapa yang menekuni sesuatu akan membuahkan hasil berlipat".

Ketika sedang asyik memandangi pohon itu, tiba-tiba Raden Syahid dikejutkan oleh suara seorang yang menyapanya. Orang itu tidak lain adalah Sunan Bonang.

Segera Raden Syahid bersembah sujud menyambut kehadiran gurunya. Ia mengucapkan hamdalah sebagai wujud rasa syukurnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sunan Bonang berkata, "Jebeng anakku, kamu telah menyelesaikan tugas yang aku berikan dengan baik ". Raden Syahid menjawab," Semua itu berkat kekuasaannya dan doa dari guru. Saya siap menunggu tugas berikutnya ".

Dikubur di dalam gua Surowiti, Panceng, Tuban

Setelah berhasil menyelesaikan tugasnya, Raden Syahid diajak Sunan Bonang menuju ke pesantrennya. Sesampainya di pesantren, kelihatan ada kesibukan yang lain dari biasanya.

Para santri sibuk menyiapkan perlengkapan untuk pesta selamatan menyambut datangnya bulan Muharram atau satu Suro. Saat itu tanggal 30 Dzulhijah. Raden Syahid ikut bergabung dengan santri lainnya. Mereka kerja keras untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Ada semacam kepercayaan bagi orang Jawa, yaitu siapa saja sehabis berdoa atau selamatan pada malam satu Suro dan tidak tidur pada malam itu, maka akan mendapatkan berkah dan insya Allah akan tercapai apa yang dicita-citakannya.

Sebagai seorang ulama besar Sunan Bonang tidak akan mengesampingkan adat-istiadat itu, bahkan berusaha melestarikannya dengan memberikan nafas-nafas ajaran Islam di dalamnya. 

Perlengkapan selamatan telah disajikan di tengah-tengah tikar pandan, lengkap dengan nasi dan lauk pauknya. Para santri telah duduk rapi melingkari hidangan yang akan dimakan. Tnggal menunggu Sunan Bonang saja. Acara selamatan dapat dimulai.

Memang Sunan Bonang sering datang belakangan, karena bacaan dzikir dan doanya memakan waktu yang tidak sebentar. Apalagi beliau mengamalkan dzikir Qodiriyah Naqsabandiyah sudah sampai pada tingkatan tertinggi, dan sudah menjadi guru mursyid.

Raden Syahid dan para santri memperbanyak bacaan shalawat Nabi dengan khusu', sambil menunggu kehadiran Sunan Bonang. Karena khusu'nya para santri dalam membaca shalawat Nabi, menjadikan kehadiran Sunan Bonang di ruangan itu tidak mereka ketahui. 

Tiba-tiba terdengarlah ucapan, "Assalamualaikum", sapa Sunan Bonang kepada semua santrinya. Para santri dengan segera menjawab, "Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh".

Sunan Bonang segera menempatkan diri di tempat duduk yang sudah disediakan dan bersila di atas tikar pandan yang telah usang. Pandangannya menebar ke segala penjuru, menatap murid satu persatu seakan-akan menghitung jumlah santri yang hadir pada acara itu. 

Pandangannya berhenti setelah sampai pada tempat duduk Raden Syahid. Kemudian Sunan Bonang berkata: "santri-santriku yang kusayangi pada malam 1 Muharam ini, marilah kita bersama-sama membaca surat Yasin. Semoga kita mendapatkan berkahNya dan segala dosa-dosa kita pada tahun yang lalu dan tahun yang akan dapat mendapatkan ampunannya.

Akhirnya bacaan Surat Yasin selesai. Lalu dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh Sunan Bonang.

Setelah semua acara selesai, Sunan Bonang mempersilakan para santri untuk memakan hidangan yang telah disediakan. Semua Santri asyik menikmati makanan yang ada, hanya Raden Syahid yang tidak makan hidangan tersebut. 

Sunan Bonang mendekati Raden Syahid dan berkata: "santriku Syahid, mengapa engkau tidak ikut makan seperti santri-santri lainnya? Apakah hidangan yang ada ada kurang berkenan di hatimu? Ataukah engkau sedang tidak enak badan, sehingga makanan yang ada tidak mengundang seleramu? Apakah ada sebab lainnya? "Sunan Bonang bertubi-tubi memberi pertanyaan pada Raden Syahid. 

Raden Syahid menghela nafas panjang, sambil menjawab:"Maaf Guruku Sunan Bonang yang senantiasa saya patuhi, hamba tidak ikut makan bukannya karena hidangannya kurang lezat, dan bukan pula karena tidak enak badan, tetapi hamba tidak makan karena hamba sudah merasa puas dan bersyukur mendapat berkah doa dari Kanjeng Sunan. Sekali lagi hamba mohon maaf, jika hamba tidak memakan hidangan yang telah guru sediakan ". 

Sunan Bonang mengangguk-anggukan kepalanya karena terharu, kemudian beliau berkata dengan penuh kasih sayang:" Jebeng Syahid, rupanya Allah telah memberi petunjuk padamu, Semoga hidayah Allah tetap dilimpahkan kepadamu. Memang tidak salah jika engkau mempunyai keyakinan bahwa berkah doa lebih baik dan berharga daripada makanan. Namun tidak ada salahnya bukan, jika engkau ikut makan bersama-sama temanmu? ".

Raden Syahid menganggukkan kepalanya dan tanpa disuruh, Raden Syahid segera mengambil hidangan dan memakannya.

Raden Syahid hanya memakan 3 kepal nasi putih tanpa lauk pauk. Sunan Bonang melihat perbuatan Raden Sahid, kemudian berkata dengan suara lirih tapi cukup jelas terdengar oleh Raden Syahid: "Ikuti aku sekarang juga".

Raden Syahid segera mengikuti Sunan Bonang dari belakang. Di dalam perjalanan, keduanya tidak berbicara sepatah kata pun. Tanpa terasa, mereka telah sampai di suatu tempat yang sudah direncanakan oleh Sunan Bonang. Tempat itu adalah pertapaan Sunan Bonang di daerah Lasem Jawa Tengah.

Pertapaan Sunan Bonang itu berada di dalam gua yang dalamnya sekitar 7 m. Hawa udaranya terasa sangat sejuk, enak untuk berzikir dan bertafakur. Pemandangannya biasa-biasa saja, seperti halnya pemandangan di kaki gunung pada umumnya.

Namun ada satu hal yang menarik perhatian Raden Syahid ketika berada di dalam gua, yaitu ia melihat Sunan Bonang berdiri dengan kaki sebelah saja dan memejamkan matanya sambil membaca doa yang tidak jelas didengar telinganya.

Selang beberapa lama kemudian, Sunan Bonang membuka matanya, dan berkata: "Jebeng Syahid lihatlah batu tempatku berdiri, apa yang engkau lihat?". Sunan Bonang turun dari batu tempatnya berdiri, untuk memberi kesempatan Raden Syahid mengamati batu tersebut.

Raden Syahid semula melihat batu itu biasa saja, namun setelah dilihatnya lebih dekat ternyata di atas batu terdapat bekas telapak kaki kiri Sunan Bonang sedalam 5 cm untuk telapak kaki bagian depan dan 7 cm untuk telapak kaki bagian belakang.

Otaknya diputar untuk memahami keajaiban itu. Bekas telapak kaki itu tidak mungkin dibuat dengan pahat batu, dan lebih tidak masuk akal lagi mungkinkah dengan hanya berdiri sebentar saja bekas telapak kaki itu dapat menembus batu sedalam 7 cm?

Sunan Bonang membiarkan Raden Syahid dalam keadaan keheranan. Beliau berdoa dalam hatinya, "Ya Allah, berilah Raden Syahid kemudahan dan kecepatan dalam memahami segala sesuatu, dan muliakanlah dengan sebab cepatnya pemahaman".

Rupanya Tuhan mengabulkan doa Sunan Bonang, terbukti dengan datangnya seberkas sinar petunjuk yang merasuki hati dan pikiran Raden Syahid.

Dengan mendapat anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, Raden Syahid kemudian menerangkan: "Guruku Sunan Bonang yang bijaksana, kalau tidak salah bekas telapak kaki kiri di batu itu terjadi karena ketekunan Guru yang selalu berdzikir dengan berdiri menggunakan kaki kiri di tempat batu itu. Karena seringnya Guru berdiri di batu itu, maka lambat laun batu dapat terkikis ke dalam sedikit demi sedikit hingga sedalam 5 cm lebih ".

" Tepat sekali apa yang engkau katakan ", potong Sunan Bonang membetulkan keterangan Raden Syahid. Beliau kemudian berkata:" Bekas telapak kaki kiriku ini terjadi bukan dengan seketika, melainkan memakan waktu lebih dari 3 tahun".

"Sekarang kita mendapat hikmah pelajaran dari batu itu, bahwa ketekunan terhadap sesuatu apapun akan mendatangkan bekas yang sulit dihilangkan dan akan menghasilkan sesuatu. Sebagai contoh, anak yang tekun mengaji pasti akan lancar dalam membaca Alquran. Ingatlah hadis nabi Muhammad SAW yang berbunyi: "Kejarlah ilmu biarpun harus menempuh lautan api".

Selama beberapa menit guru dan murid itu berdiam diri. Sunan Bonang menunggu jika ada sesuatu yang akan ditanyakan oleh Raden Syahid.

Setelah dirasa tidak ada yang ditanyakan oleh Raden Sahid, maka Sang Guru berkata pada muridnya: "Raden Syahid muridku, maksud hatiku mengajakmu ke sini bukan hanya untuk melihat bekas telapak kaki kiriku saja, melainkan yang lebih penting lagi, kamu akan saya beri tugas yang lebih berat dari yang kuberikan sebelumnya.

Adapun tugas yang harus engkau lakukan adalah engkau harus mau saya kubur di dalam gua Surowiti Panceng Kadipaten Tuban. Di dalam gua, engkau hanya diperbolehkan makan makanan yang ada di dalam gua, misalnya lumut. Sedangkan engkau saya kubur di dalam gua selama 1 tahun. Sanggupkah engkau menerima tugas ini?

"Insya Allah, sanggup" , jawab Raden Syahid dengan tegas dan mantap.

Post a Comment for "Raden Syahid Berguru Pada Sunan Bonang"