Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Amangkurat I: Pembantai 6.000 Ulama dalam 30 Menit

Amangkurat I adalah raja Mataram Islam yang memegang kekuasaan di abad ke-17. Lahir dengan nama Raden Mas Sayidin, Sri Susuhunan Amangkurat Agung merupakan putra Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Amangkurat I merupakan keturunan Sultan Agung, Sultan yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional Indonesia pada tahun 1975, dengan seorang wanita bergelar Ratu Wetan.

Amangkurat I

Ketika menjadi putera mahkota, Amangkurat I memiliki gelar Pangeran Arya Prabu Adi Mataram.

Pada masa kekuasaan Sultan Agung, Kesultanan Mataram aktif meluaskan kekuasaan Sultan melalui tangan-tangan prajurit.

Hal ini sesuai dengan karakteristik kepemimpinan otokratis Sultan Agung yang menghendaki pemerintahan terpusat dan tidak ingin terpecah belah.

Namun, situasi berubah ketika Sultan Agung wafat. Amangkurat I tidak bisa melanjutkan kepemimpinan ayahnya dengan baik dan membuat Kesultanan Mataram runtuh.

Masa Pemerintahan Amangkurat I

Naik tahta pada tahun 1645 dan diangkat secara resmi menjadi raja satu tahun berikutnya, Amangkurat I menggantikan posisi sang ayah sebagai raja Mataram dan memperoleh gelar Susuhunan Ing Alaga.

Dalam bahasa jawa, ‘Amangku’ berarti memangku atau mengatur dan ‘Rat’ berarti bumi. Secara harfiah, Amangkurat berarti mengatur bumi.

Awalnya, Mataram Islam memiliki keseimbangan politik dan kekuasaan luas di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Ketika Amangkurat I naik tahta, ia secara otomatis mewarisi wilayah luas Mataram Islam dari Sultan Agung.

Namun, situasi Kesultanan Mataram berubah ketika Amangkurat I duduk di kursi pemerintahan.

Tidak seperti Sultan Agung, Amangkurat I tampaknya tidak memahami ilmu politik. Usahanya untuk membangun stabilitas tersentralisasi di tanah Kesultanan Mataram terus mendapat perlawanan.

Untuk memecah perlawanan, Amangkurat I membunuh pejabat-pejabat lokal yang tidak sependapat dengannya, termasuk bangsawan dari Surabaya, Pangeran Pekik, yang masih ayah mertuanya. Bahkan Pangeran Purboyo juga akan menjadi korban seandainya tidak dicegah oleh istri almarhum Sultan Agung.

Demi memperluas kekuasaannya, Amangkurat I memindahkan ibu kota dari Karta, yang dibangun oleh Sultan Agung, ke istana Plered.

Konflik yang terus terjadi di wilayah kesultanan menimbulkan pemberontakan dari adik Amangkurat I, Raden Mas Alit yang didukung oleh tumenggung Danupoyo. Ini terjadi dua tahun setelah Amangkurat I menduduki tahta.

Raden Mas Alit menentang pembunuhan massal figur-figur senior yang dilakukan oleh Amangkurat I dan berusaha mendongkel Amangkurat I dari tahta dengan menyerang istana.

Pemberontakan Raden Mas Alit ini mendapat dukungan dari Ulama. Sayangnya, misi ini gagal dengan kematian Raden Mas Alit.

Meskipun Amangkurat I senang dengan kematian adiknya yang memberontak, ia masih memutar otak untuk mencari cara menghabisi kelompok yang mendukung adiknya, yaitu kelompok ulama.

Rencana Keji Amangkurat I

Menurut sejarawan Merle C. Ricklefs dalam War, Culture, and Economy in Java 1677-1726 (1993), Amangkurat I adalah penguasa brutal tanpa pencapaian signifikan dan kreativitas.

Amangkurat I tampaknya sama sekali tak menaruh perhatian pada keseimbangan politik. Malah, ia membangun kekuasaan terpusat yang hanya akan menyenangkan kepentingannya sendiri.

Karena perilakunya yang menuntut dan dianggap tak memiliki kualitas kebajikan yang seharusnya dimiliki seorang raja, ia terasing dari hampir semua aparatur pemerintahan seperti para pangeran, patih, tumenggung, dan pemuka agama.

Masa pemerintahan Amangkurat I digambarkan dengan metafora negatif dalam Serat Jaya Baya, yaitu “Kalpa sru semune kenaka putung”. Artinya, masa kelaliman yang diibaratkan dengan kuku yang putus.

‘Masa lalim’ berarti kekejaman pemerintahan raja, sedangkan ‘kuku yang putus’ bermakna banyaknya panglima yang dibunuh tanpa manfaat.

Metafora negatif ini bukannya tanpa sebab. Amangkurat menganggap pemberontakan yang dilakukan oleh adiknya, Raden Mas Alit, sebagai usaha untuk merebut tahta kesultanan.

Amangkurat I beranggapan bahwa para ulama pendukung Raden Mas Alit merencanakan makar dengan mengangkat Raden Mas Alit sebagai Sultan.

Dari sini, Amangkurat I menemukan jalan untuk menghabisi mereka yang berkomplot dengan adiknya tanpa harus turun tangan langsung.

Amangkurat I memanggil 4 orang pembesar kesultanan untuk menghadap, yaitu:

  1. Pangeran Aria
  2. Tumenggung Nataairnawa
  3. Tumenggung Suranata
  4. Ngabehi Wirapatra

Bersama anak buah masing-masing pembesar, keempat orang tersebut menerima perintah sultan untuk menyebar ke masing-masing penjuru mata angin.

Sejarawan HJ. de Graaf dalam De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677 yang terbit tahun 1961, Sang Sultan berpesan, “Jangan seorang pun dari pemuka-pemuka agama dalam seluruh yurisdiksi Mataram luput dari pembunuhan.”

Amangkurat I membuat daftar yang berisi nama dan alamat para ulama beserta keluarga mereka untuk dikumpulkan di alun-alun Plered.

Pembataian 6.000 Ulama oleh Amangkurat I

Setelah semua informasi yang dibutuhkan sudah terkumpul, Amangkurat I memberi perintah kepada keempat orang kepercayaannya itu.

Ia meminta agar mereka membunuh semua laki-laki, wanita, dan anak-anak. Aba-aba terakhir akan disampaikan dengan bunyi letusan meriam Ki Sapujagat yang ada di halaman keraton.

Ketika empat orang bawahannya bekerja, Amangkurat I mengamankan diri di dalam keraton dengan penuh ketakutan. Padahal, sang Sultan tengah berada dalam pengawasan dan penjagaan ketat pengawal pribadi yang paling kuat dan terpercaya.

Sayangnya, babad-babad Jawa semuanya membisu ketika fase mengerikan ini terjadi dalam sejarah Mataram Islam. Satu-satunya sumber yang bisa dijadikan acuan adalah catatan Rijcklofs van Goen, utusan VOC untuk Mataram yang saat itu ada di Plered.

Menurutnya, dalam waktu setengah jam, tak kurang dari 5 sampai 6 ribu orang dibantai di alun-alun Plered. Di suatu siang yang terik tahun 1648, sekitar 6.000 ulama dan keluarga mereka yang menetap di wilayah kekuasaan kesultanan Mataram harus mati karena Amangkurat I.

Setelah pembantaian selesai, esok harinya Amangkurat I keluar dari istana dan menampakkan wajah terkejut. Ia bersikap seolah bukan dirinya yang menyebabkan pembantaian tersebut.

Memasang muka marah, Amangkurat I meminta prajurit untuk menyeret delapan pembesar yang tak terbunuh.

Sang Sultan lalim memaksa mereka mengaku telah merencanakan makar kepada Sultan dengan mengangkat Pangeran Alit sebagai raja. Tak hanya itu, mereka juga dipaksa mengaku sebagai dalang dari pembantaian tersebut.

Dalam situasi seperti itu, tak ada yang bisa mereka lakukan selain mengaku. Delapan pembesar itu pun bernasib sama seperti 6.000 ulama lainnya. Mereka dibunuh bersama seluruh keluarga mereka.

Inilah cara Amangkurat I mencuci tangan dari perbuatan paling keji dalam sejarah Jawa modern.

Akhir Hidup Sang Raja Lalim

Pujangga Yasadipura dalam Serat Rama (1770) menyebutkan bahwa seorang raja yang menuruti nafsu amarah tak terkendali hanya karena ingin dipatuhi dan ditakuti akan dikutuk.

Makam Amangkurat I

Raja semacam itu disamakan dengan “kambing yang menyerap tiap potong kayu yang dipasang di hadapannya”. Perilaku seperti ini dianggap sangat tak pantas, apalagi dilakukan seorang raja Jawa.

Hampir semua perilaku gendeng seorang raja yang disebutkan dalam babad-babad Jawa bisa ditemukan dalam sosok Amangkurat I.

Memerintah selama 31 tahun (1646-1677), Amangkurat I tidak bisa menjaga kekuatan politik dan pengaruh mataram yang dibangun oleh Sultan Agung.

Mataram akhirnya runtuh di tangan Amangkurat I ketika seorang pangeran dari Madura, Trunojoyo, akhirnya muak dengan kekejaman sang Sultan.

Trunojoyo melancarkan serbuan ke keraton Mataram pada awal 1677 dan keraton berhasil diduduki. Amangkurat I dan keluarganya melarikan diri menuju Batavia untuk meminta perlindungan VOC.

Sebelum sampai di Batavia, Amangkurat I mati di daerah Banyumas pada pertengahan 1677, kemudian dimakamkan di Tegal.

Post a Comment for "Amangkurat I: Pembantai 6.000 Ulama dalam 30 Menit"